BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pemilihan kepala daerah secara langsung ternoda dengan banyaknya
kasus kecurangan. Mahkaman Konstitusi bahkan menemukan
kecurangan-kecurangan yang bersifat sistematik dari peserta hingga
penyelenggaraan Pemilukada. Lantas apa langkah pemerintah, DPR dan KPU untuk
menekan kecurangan dalam penyelenggaran pemilukada? Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga hukum konstitusi yang sering menjadi rujukan hukum sengketa pemilukada
menuding ada kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
Kecurangan itu dilakukan mulai dari peserta pemilu kepala daerah sampai ke
pejabat penyelenggaraan pilkada. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD
mengatakan, dari beberapa kasus kecurangan pemilukada yang dibawa ke MK,
ditemukan ada sejumlah anggota panwaslu dan KPU yang terlibat dalam tindak
kecurangan. Masalah pemenangan Pilkada mengandung
latar belakang multidimensional. Ada yang bermotif harga diri
pribadi (adu popularitas); Ada pula yang bermotif mengejar kekuasaan dan
kehormatan; Terkait juga kehormatan Parpol pengusung; Harga diri Ketua
Partai Daerah yang sering memaksakan diri untuk maju. Di samping tentu saja ada
yang mempunyai niat luhur untuk memajukan daerah, sebagai putra daerah. Dalam
kerangka motif kekuasaan bisa difahami. Pemenangan perjuangan politik seperti
pemilu legislative atau pilkada eksekutif sangat penting untuk mendominasi
fungsi-fungsi legislasi, pengawasan budget dan kebijakan dalam proses
pemerintahan (the process of government) . Masalah lainnya sistem perekrutan
calon KDH (Bupati, Wali kota, Gubernur) bersifat transaksional, dan hanya
orang-orang yang mempunyai modal financial besar, serta popularitas tinggi,
yang dilirik oleh partai politik, serta beban biaya yang sangat besar untuk
memenangkan pilkada/pemilukada, akibatnya tidak dapat dielakan maraknya korupsi
di daerah, untuk mengembalikan modal politik sang calon,serta banyak
Perda-Perda yang bermasalah,dan memberatkan masyarakat dan iklim investasi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian kejujuran dalam pilkada?
2.
Bagaimanakah modus-modus kecurangan yang biasa
terjadi dalam Pilkada?
3.
Bagaimanakah penyelewengan-penyelewengan yang
terjadi dalam Pilkada?
4.
Bagaimanakah cara mencegah terjadinya kecurangan
dalam Pilkada?
C.
Tujuan Pembelajaran
1.
Mengetahui pengertian kejujuran dan pilkada.
2.
Mengetahui
modus-modus kecurangan yang biasa terjadi dalam Pilkada.
3.
Mengetahui penyelewengan- penyelewengan yang
terjadi dalam Pilkada
4.
Mengetahui cara mencegah terjadinya kecurangan
dalam Pilkada.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kejujuran dalam Pilkada
Kejujuran atau jujur
artinya apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya apa yang
dikatakannya sesuai dengan kenyataan yang ada. Sedang kenyataan yang ada itu
adalah kenyataan yang benar-benar ada. Jujur juga berarti seseorang bersih
hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum. Untuk itu
dituntut satu kata dan perbuatan, yang berarti bahwa apa yang dikatakan haruis
sama dengan perbuatannya. Karena itu jujur berarti juga menepati janji atau
kesanggupan yang terlampir malalui kata-kata atau perbuatan.
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau
seringkali disebut pilkada atau pemilukada, adalah pemilihan umum untuk memilih
kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh
penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Pemilu Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelum
diberlakukannya undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah,
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD). Namun sejak Juni 2005 Indonesia menganut system pemilihan Kepala
Daerah secara langsung. Pilkada langsung merupakan
sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah
satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang
dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam
mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar
dapat diwujudkan.
Asas pemilihan Kepala Daerah merupakan prinsip-prinsip
atau pedoman yang harus mewarnai proses penyelenggaraan pemilihan tersebut,
asas berarti jalan atau sarana agar pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah secara langsung dapat terlaksana secara demokratis.
Adapun
asas- asas dalam Pilkada antara lain sebagai berikut:
1. Langsung
Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan
suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya tanpa
perantara.
2. Umum
Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi
persyaratan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku berhak
mengikuti pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung.
Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna, menjamin kesempatan yang berlaku
menyeluruh terhadap semua warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan suku,
agama, ras, golongan, jenis kelamin, pekerjaan dan status sosial.
3. Bebas
Pengertian bebas dalam hal ini adalah setiap warga negara
berhak memilih bebas menentukan pilihan tanpa tekanan dan paksaan dari siapa
pun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya
sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya.
4. Rahasia
Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin kerahasiaannya
oleh pihak manapun. Pemilih dapat memberikan suaranya pada surat suara dengan
tidak diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.
5. Jujur
Dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, setiap penyelenggara Pilkada,
aparat pemerintah, calon atau peserta pemilkan Kepala Daerah, pengawas Pilkada,
Pemantau Pilkada pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan
bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
6. Adil
Penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah secara langsung, setiap pemilik dan calon atau peserta pilkada mendapat
perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun, berdasarkan
prinsip ini dihubungkan degan independensi pegawai negeri sipil dalam
pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah, maka jika ada oknum pegawai negeri
terlibat langsung dalam proses pemilihan tersebut dapat dikatakan melanggar
asas ini karena penekanan asas ini adalah perlakuan yang sama terhadap seluruh
peserta atau calon Kepala Daerah yang bersaing dalam pemilihan Kepala Daerah.
pemikirannya yang
B. Modus
– modus kecurangan dalam PILKADA
a.
Merekayasa Daftar Pemilih Tetap ( DPT )
1)
Pertama ialah mengacak dan memecah pemilih
sehingga seseorang justru terdaftar di TPS yang jauh dari rumahnya.
Harapannya, banyak orang
yang malas mencoblos. Ini berarti ada banyak sisa surat suara yang tak terpakai
dan bisa dicoblos sendiri sesuai dengan keinginan pemesan.
2)
Kedua, menambahkan ghost voters
(pemilih siluman).
Ada bermacam cara yang sering dipakai. Misalnya
tidak menghapus daftar orang yang sudah meninggal, pindah, atau yang masih di
bawah umur dalam DPT. Ada juga cara yang paling vulgar, yakni menambahkan nama
yang benar-benar fiktif. Jumlahnya bisa dibuat sesuka hati, tapi biasanya
disesuaikan dulu dengan densitas (kepadatan) dan demografi penduduk.
“Kasarannya, bila ada daerah yang betul-betul sepi, tentu saja tidak akan
ditambahkan ghost voters yang banyak. Pasti kentara,” paparnya.
3)
Ketiga ialah menghilangkan nama dari DPT dengan
memanfaatkan kacau-balaunya sistem administrasi kependudukan.
Tujuan penghilangan nama
tentu saja merusak dan menggembosi basis lawan. Misalnya, yang berbuat curang
adalah partai X dan ingin mencurangi partai Y. Maka, DPT di basis daerah Y
bakal dikepras dan menimbulkan efek frustrasi yang dampaknya cukup kuat.
Selain mempermainkan DPT, modus
kecurangan lainnya ialah merekayasa undangan coblosan. Banyak undangan
coblosan yang tidak disampaikan kepada warga, tapi per TPS. Jumlahnya tidak besar.
Antara lima sampai sepuluh undangan. Ini yang akan dicoblos sendiri. Jumlahnya
memang terkesan kecil. Tapi, dari modus undangan saja, bisa terkumpul sekitar
50 ribu tambahan suara, dengan asumsi jumlah TPS mencapai 5 ribu titik.
b.
Tindak kecurangan saat di TPS
Titik penting dalam pemilu adalah momen saat di
TPS. Di sana paling rentan terjadi main-main. Namun, bila permasalahan di TPS
sudah beres, akan lebih mudah melakukan perbaikan data jika ditemukan
kecurangan.
1)
Modus pertama kecurangan di TPS adalah
pencoblosan sendiri yang dilakukan oknum KPPS.
Kecurangan di TPS selalu
melibatkan KPPS dan tak mungkin dilakukan satu oknum saja. Minimal tiga petugas
TPS yang terlibat. Tak mungkin main sendirian karena terlalu berisiko. Bila ada
indikasi satu anggota KPPS curang, pasti temannya sesama KPPS di sana juga
terlibat. Dengan memanfaatkan undangan yang tak disebar atau sudah mengincar
sejumlah surat suara yang telah “dipesan”, KPPS pun akan mencoblosnya sendiri, pencoblosan
itu dilakukan sendiri oleh KPPS saat jeda istirahat antara selesainya proses
coblosan dan akan masuknya penghitungan suara. Jadi, saksi harus mengawasi
semua anggota KPPS saat jeda atau makan. Karena itu sangat penting.
2)
Modus kedua biasanya terjadi saat masa
penghitungan suara atau ketika anggota KPPS menuliskan perolehan suara di
kertas plano besar (formulir/form C2).
Juru tulis biasanya
memanfaatkan kelengahan saksi saat pembacaan hasil. Sebab, biasanya saksi
terpaku pada calon yang dia bela saja. Jadinya, mudah saja menambahkan suara ke
lawan.
3)
Yang ketiga adalah penyusunan berkas acara
(mengisi form C1).
Form C1 inilah yang
memegang peran krusial. Sebab, kelak dalam rekapitulasi di tingkat panitia
pemilihan kecamatan (PPK) hingga KPU, berkas form C1 itulah yang dipakai
sebagai dasar untuk menghitung, bukan surat suara. Di form tersebut terdapat
data mengenai jumlah surat suara, surat suara sah, surat suara tidak sah,
hingga sisa surat suara. Sering kali sisa surat suara bisa dikurangi sehingga
ada tambahan puluhan atau ratusan surat suara yang bisa di-entry untuk
memenangkan salah satu calon.
c.
Rekapitulasi Suara dari TPS hingga KPU
Setelah “bermain-main” di DPT dan TPS, inilah
saatnya “mendulang suara” pada saat rekapitulasi. Caranya ialah menyiasati
habis-habisan mekanisme rekapitulasi yang ada.
Begini prosedurnya. Dari
TPS, rekap suara langsung dilakukan di PPK (tingkat kecamatan). Namun, entry
data dilakukan PPS (petugas setingkat kelurahan). Entry data itu dilakukan
dengan melihat C1 dan membuka kertas plano penghitungan. Dalam pelaksanaannya,
entry data tersebut dilakukan secara manual di komputer, sebelum hasil
rekapitulasi per PPS dipaparkan untuk penyusunan C1 di tingkat kecamatan. Dengan
mekanisme seperti itu, banyak penyiasatan yang bisa terjadi.
1)
Modus pertama, KPPS bekerja sama dengan PPS.
Setelah penghitungan
suara di tingkat TPS kelar, anggota KPPS langsung menghubungi anggota PPS dan
menyebutkan telah melakukan penambahan sisa surat suara misalnya. Maka, anggota
PPS yang sudah ikut bermain langsung menyiapkan plano pengganti yang sesuai
dengan form C1 akal-akalan dari TPS tersebut. Jadi, plano asli dari TPS dibuang
dan sudah disiapkan kertas plano baru untuk rekap di tingkat PPK.
2)
Kedua adalah saat entry data.
Petugas entry data
kadang asal memasukkan angka. Pernah terjadi, beralasan mengantuk, seorang
petugas entry data memasukkan angka yang seharusnya 475, jadi 4747. Ketika
dipergoki, alasan ngantuk dan angka 47-nya kepencet dua kali.
3)
Ketiga ialah langsung memasukkan data ngawur.
Misalnya, di tingkat PPK
tiba-tiba jumlah surat suara yang tidak sah menurun. Misalnya 5 ribu jadi 4
ribu. Tim sukses pun pasti kelabakan mengeceknya karena harus membuka satu-satu
lagi data per TPS. Belum kelar mengecek, tiba-tiba proses sudah selesai dengan
alasan waktu. Pihak KPU atau PPK tinggal mempersilakan tim pemenangan yang tak
puas untuk melapor ke panwas.
C. Penyelewengan-
penyelewengan dalam Pilkada
Dalam pelaksanaan
pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan penyelewengan.
Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti :
a.
Money
Politik
Sepertinya money politik
ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan
masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah
mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu di lingkungan
penulis yaitu desa Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal
tersebut. Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang kapada
masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang dengan
uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan
seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah
hanya karena uang.
Jadi sangat rasional
sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak.
Karena untuk biaya ini, biaya itu.
b. Intimidasi
Intimidasi ini juga
sangat bahaya. Sebagai contoh juga yaitu di daerah penulis oknum pegawai
pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon.
Hal ini sangat menyeleweng sekali dari aturan pelaksanaan pemilu.
c.
Pendahuluan
Start Kampanye
Tindakan ini paling sering
terjadi. Padahal sudah sangat jelas sekali aturan aturan yang berlaku dalam
pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk,
selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan Kepala daerah saat itu
melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat
tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang
memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media
kampanye. Bakal calon menyam paikan visi misinya dalam acara tersbut padahal
jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.
d.
Kampanye
Negatif
Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya
sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian
masyarakat masih sangat kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya
“manut” dengan orang yang disekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye
negatif ini dapat mengarah dengan munculnya fitnah yang dapat merusak
integritas daerah tersebut.
D.
Mencegah
terjadinya Kecurangan dalam Pilkada
Beberapa hal perlu
diperhatikan oleh penyelenggara, peserta dan masyarakat dalam upaya meminimalisir
kecurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan Pemilu.
1)
Daftar Pemilih Tetap
(DPT); Potensi kecurangan dapat diminimalisir dengan ikut berperan
aktif dalam memeriksa dan melaporkan bila terdapat pemilih yang belum
terdaftar, pemilih ganda atau terdaftar lebih dari satu kali, pemilih dari
unsur TNI/Polri, pemilih yang tidak lagi memenuhi syarat berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang ada. Untuk dapat melakukan hal tersebut, harus pula
dipahami tata cara pemutakhiran data pemilih pemilu sebagaimana yang telah
diatur dalam Keputusan KPU Nomor
12 Tahun 2010.
2)
Money Politik; Meskipun relatif sulit
ditemukan bukti-bukti kecurangan model ini, kesaksian penerima uang sangat
berarti dalam mengungkapkan praktek money politik atau jual-beli suara ini.
Perlu dilakukan upaya serius dan upaya membangun kesadaran politik masyarakat
untuk bersedia mengungkap praktek yang menjadi cikal-bakal perbuatan korup para
pejabat negara ini.
3)
Penggunaan surat suara
Pemilu yang tidak terpakai untuk menambah perolehan suara calon tertentu; Kecurangan model ini
mudah untuk diantisipasi manakala pada saat rapat pleno rekapitulasi
penghitungan suara dilangsungkan di TPS, para saksi, pemantau dan juga
masyarakat bisa langsung meminta kepada petugas Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS) memberi tanda silang atau men-centang surat suara yang
tidak terpakai dan yang rusak dengan spidol atau pena dan memasukkannya di
Berita Acara Rekapitulasi Penghitungan Suara seperti yang diatur dalam Peraturan KPU Nomor
15 Tahun 2010.
4) Terlibatnya secara masif aparat pemerintahan
dalam pemenangan calon tertentu, menggiring suara pemilih dan terkadang juga
mendikte pemilih untuk memilih calon tertentu. Kecurangan model ini
bisa diantisipasi dengan memberi teguran langsung kepada pejabat, PNS, aparat
negara lainnya atau melaporkannya kepada Pengawas Pemilu (Panwaslu). Rekam aksi
para aparat pemerintah yang disinyalir melakukan kampanye bagi pemenangan calon
tertentu, kumpulkan bukti-bukti dan kesaksian yang relevan untuk itu dan
melaporkanya kepada Panwas Pemilu untuk diambil tindakan sebagaimana mestinya.
Pelaksanaan kampanye Pemilu diatur dalam Keputusan KPU Nomor
69 tahun 2009.
5)
Berubahnya perolehan
suara pada saat rapat pleno penghitungan suara dilakukan. Potensi kecurangan
Pemilu dengan merubah perolehan suara ini sesungguhnya tidak mungkin dilakukan
apabila para saksi, pemantau dan pengawas pemilu bekerja sesuai SOP-nya. Bila
pun masih terjadi, berarti telah terdapat kesepakatan dari unsur-unsur yang
terlibat untuk melakukan pelanggaran dimaksud. Untuk mengantisipasi kecurangan
model ini, menurut hemat penulis cuma ada satu cara, amati dengan seksama
perolehan suara yang terdapat dalam surat suara dan cocokkan dengan hasil
rekapitulasinya sebelum Berita Acara Rekapitulasi Penghitungan Suara di TPS
ditandatangani. Untuk para saksi dan pengawas Pemilu, minta salinan Berita
Acara berikut lampiranya untuk kemudian dibawa dan dicocokkan pada saat
rekapitulasi dilakukan di jajaran penyelenggara selanjutnya.
Kecurangan Pemilu terjadi bukan saja karena terbukanya peluang
untuk itu, tetapi juga karena kurangnya kesadaran serta pemahaman akan
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pemilihan umum kepala daerah dan
wakil kepala daerah, atau seringkali disebut pilkada atau pemilukada, adalah
pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara
langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat.
2. Modus
– modus kecurangan dalam Pilkada: Merekayasa Daftar Pemilih Tetap ( DPT ), Tindak kecurangan saat di TPS, dan Rekapitulasi
Suara dari TPS hingga KPU.
3.
Penyelewengan-
penyelewengan dalam Pilkada: Money Politik, Intimidasi, Pendahuluan start
kampanye, dan Kampanye negatif.
4.
Mencegah
terjadinya Kecurangan dalam Pilkada: Daftar Pemilih Tetap
(DPT); Money Politik; Penggunaan surat suara Pemilu yang tidak
terpakai untuk menambah perolehan suara calon tertentu; yang
Terlibatnya secara masif
aparat pemerintahan dalam pemenangan calon tertentu, menggiring suara pemilih
dan terkadang juga mendikte pemilih untuk memilih calon tertentu. Berubahnya perolehan suara pada saat rapat pleno penghitungan suara
dilakukan.
B. Solusi
Dalam melaksanakan
sesuatu pasti ada kendala yang harus dihadapi. Tetapi bagaimana kita dapat
meminimalkan kendala- kendala itu. Untuk itu diperlukan peranserta masyarakat
karena ini tidak hanya tanggungjawab pemerintah saja. Untuk menggulangi
permasalah yang timbul karena pilkada antara lain :
Seluruh pihak yang ada
baik dari daerah sampai pusat, bersama sama menjaga ketertiban dan kelancaran
pelaksanaan pilkada ini. Tokoh tokoh masyarakat yang merupakan panutan dapat
menjadi souri tauladan bagi masyarakatnya. Dengan ini maka dapat menghindari
munculnya konflik.
Semua warga saling
menghargai pendapat. Dalam berdemokrasi wajar jika muncul perbedaan pendapat.
Hal ini diharapkan tidak menimbulkan konflik. Dengan kesadaran menghargai
pendapat orang lain, maka pelaksanaan pilkada dapat berjalan dengan lancar.
Sosialisasi kepada warga
ditingkatkan. Dengan adanya sosialisasi ini diharapkan masyarakat dapat
memperoleh informasi yang akurat. Sehingga menghindari kemungkinan fitnah
terhadap calon yang lain. Memilih dengan hati nurani.
C. Saran
Dalam memilih calon Kepala
Daerah kita harus memilih dengan hati nurani sendiri tanpa ada paksaan dari
orang lain. Sehingga prinsip prinsip dari pilkada dapat terlaksana dengan baik
dan tidak terjadi lagi kecurangan- kecurangan dalam Pilkada.
DAFTAR
PUSTAKA
Herry,
Achmad. 2005. 9
kunci sukses tim sukses dalam pilkada langsung. Yogyakarta: Galang Press.
Salossa, Daniel S. 2005. Mekanisme, Persyaratan, dan Tatacara Pilkada
Langsung Menurut Undang- Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemeerintahan Daerah.
Yogyakarta: Media Pressindo.
Referensi Website:
Humas PKS Sidoarjo. 2010. Modus-modus Kecurangan dalam Pilkada. http://www.pks-sidoarjo.org/umum/modus-modus-kecurangan-dalam-pilkada.htm.
(Diakses tanggal 16 Mei 2013).
Syafran Sofyan. 2010. Permasalahan dan Solusi Pemilukada. http://www.lemhannas.go.id/portal/in/daftar-artikel/1634-permasalahan-dan-solusi-pemilukada.html.
(Diakses tanggal 16 Mei 2013).
Yudi Rachman. 2012. Mencegah Kecurangan Pemilukada. http://smartmaticindonesiaevotingproject.blogspot.com/2012/02/mencegah-kecurangan-pemilukada.html.
(Diakses tanggal 17 Mei 2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar